Epistemologi
Keilmuan Islam
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Pengantar Studi Islam (PGMI-2b)
Dosen pengampu : M. Rikza Chamami, M. Si
Disusun
Oleh :
Tri
Nofiatun (103611024)
Fitri Choiri Hidayati (103611033)
Heni Puji Astuti (123911051)
Imro’atul Azizah (123911053)
Issatir Rodliyah (123911054)
Nita Fitriyani (123911077)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
EPISTEMOLOGI KEILMUAN ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini
menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia,
tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus
ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah lazim dikenal dengan
istilah epistemologis.
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa
Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, epistemologis ini menempati posisi yang
sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam
menentukan epistimologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu
pengetahuan yang dihasilkan.
Sejarah telah
mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia
sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu mulai
melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena
Islam dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar
dalam kaitannya dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga
model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani dan burhani yang
masing-masing mempunyai pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Ketiga
sistem atau pendekatan tersebut dikenal juga tiga aliran pemikiran epistemologi
Barat dengan bahasa yang berbeda, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme.
Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa
didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi.
Selain sebagai instrumen untuk mencari kebenaran,
ketiga epistemologi tersebut juga bisa digunakan sebagai sarana identifikasi
cara berfikir seseorang. Pemahaman paling sederhana pada ketiga epistemologi
ini adalah jawaban dari pertanyaan, “Dengan apakah manusia mendapatkan
kebenaran?”.
Seorang filosof dengan corak
berfikir burhani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari akal atau panca
indera. Dengan kedua sarana ini manusia memunculkan dua dikotomi antara apa
yang disebut rasional dan irrasional. Rasional adalah sebuah kebenaran,
sebaliknya irrasional adalah sebuah kesalahan.
Selanjutnya orang
yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu
dari teks. Rasio tidak memiliki tempat dalam pembacaan mereka terhadap
kebenaran. Ketercukupan golongan ini terhadap teks memasukkan mereka pada
golongan fundamental literalis. Sedangkan orang yang memiliki corak berfikir
irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari wahyu, ilham, wangsit dan
sejenisnya. Pola berfikir demikian akan membangun sebuah struktur masyarakat
yang memiliki hirarki atas bawah. Untuk lebih memahami mengenai epistemologi
Bayani, Burhani dan Irfani penulis akan menjelaskannya dalam makalah ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
Definisi Epistemologi, Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani?
B. Bagaimana
Model Berfikir Bayani, Burhani dan Irfani?
C. Apa
Saja Keunggulan dan Kelemahan Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani?
III.
PEMBAHASAN
A. Definisi Epistemologi, Epistemologi Bayani,
Burhani dan Irfani
a. Definisi Epistemologi
Secara
etimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme berarti
pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian, atau ulasan. Jadi
epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan, atau dalam bahasa Inggris
dikenal dengan Theory of Knowledge.[1]
Secara
terminologi, Dagobert D. Runes dalam bukunya, Dictionary of Philoshopy,
yang dikutip Armai Arief, mengatakan bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, mode dan
validasi pengetahuan. Pendapat lain dikemukakan oleh D.W. Hamlyan, sebagaimana
yang dikutip Mujamil, yang mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengandaian-pengandaiannya, serta secara umum hal itu dapat diandalkan sebagai
penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Dengan demikian maka epistemologi adalah
sebuah ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan
dipelajari secara substantif. Oleh karena itu, epistemologi bersangkutan dengan
masalah-masalah:
1.
Filsafat,
sebagai cabang ilmu dalam mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
2.
Metode,
memliliki tujuan untuk mengantarkan manusia mencapai pengetahuan.
3.
Sistem,
bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.[2]
Epistemologi
atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya secara
rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam
interaksinya dengan diri, interaksi dengan lingkungan sosial, dan juga
interaksinya dengam alam sekitarnya. Oleh karena itu, epistemologi juga disebut
sebagai suatu disiplin yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis.
Evaluatif berarti menilai. Ia menilai
apakah suatu kenyakinan, sikap, pernyataan pendapat, dan teori pengetahuan
dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara nalar. Normatif
berarti menentukan norma atau tolak ukur. Dalam hal ini adalah tolak ukur
kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat
tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses
manusia mengetahui itu terjadi, tetapi perlu juga membuat penentuan mana yang
betul dan mana yang salah berdasarkan
norma empirik. Sedangkan kritis
berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran, cara maupun hasil kegiatan
manusia mengetahui.[3]
b. Definisi Epistemologi Bayani
Secara
bahasa, Bayani bermakna sebagai penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan
secara terminologis, Bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash
(Al-Qur’an dan Al-Hadits), ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan
epistemologi, maka pengertiannya adalah studi filosofis terhadap struktur
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak.
Adapun akal hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas hanya untuk
menjelaskan teks yang ada.[4]
c. Definisi Epistemologi Burhani
Kata
Burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan, yang mengikuti penjelasan
Muhammad Abid al-Jabiri memiliki arti sebagai argumentasi yang kuat dan jelas (al-hujjah
al-fashilah al-bayyinah). Sedangkan kata yang memiliki makna yang sama
dengan al-burhan dalam bahasa inggris adalah demonstration. Arti
kata demonstration adalah berfikir sesuai dengan alur tertentu atau
penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, pengetahuan
demonstratif merupakan pengetahuan yang integratif, sistemik, dan sistematik.
Ciri daripada pengetahuan demonstratif ada tiga, yaitu:
1. Pokok bahasannya jelas dan pasti
2. Unversal dan tidak partikular
3. Memiliki peristilahan teknis tertentu
Menurut
Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual untuk
membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau deduksi.
Sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas intelektual
untuk membuktikan kebenaran suatu preposisi.
Istilah
burhan juga dipakai dalam pengertian yang cukup beragam. Beberapa diantaranya:
1. Cara atau jenis argumentasi
2. Argumen itu sendiri
3. Bukti yang terlihat dari suatu argumen yang
meyakinkan
Pengertian dalam bentuk yang ketiga
ini digunakan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 174 dan surat Yusuf ayat 24.[5]
QS.
An-Nisa ayat 174:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§ !$uZø9tRr&ur öNä3ös9Î) #YqçR $YYÎ6B ÇÊÐÍÈ
“Hai
manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu.
(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang
terang benderang (Al Quran).” (QS. An-Nisa/4:174)[6]
QS.
Yusuf ayat 24:
ôs)s9ur ôM£Jyd ¾ÏmÎ/ ( §Nydur $pkÍ5 Iwöqs9 br& #uä§ z`»ydöç/ ¾ÏmÎn/u 4 y7Ï9ºx2 t$ÎóÇuZÏ9 çm÷Ztã
uäþq¡9$# uä!$t±ósxÿø9$#ur 4 ¼çm¯RÎ) ô`ÏB $tRÏ$t6Ïã úüÅÁn=øÜßJø9$# ÇËÍÈ
“Sesungguhnya
wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda
(dari) Tuhannya[750]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang
terpilih.” (QS. Yusuf/12:24)[7]
Dalam bahasa lain, metode
burhani atau demonstratif merupakan sebentuk inferensi rasional, yaitu
penggalian premis-premis yang menhasilkan konklusi yang bernilai.[8]
Pola pikir Burhani bersumber pada realitas (alam, sosial, humanitas).
d. Definisi Epistemologi Irfani
Irfan
dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan dengan al-‘ilm.
Di kalangan sufi, kata ‘Irfan dipergunakan untuk menunjukan jenis
pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan ke dalam qalb dengan cara kasyf
atau ilham.
Di
kalangan kaum sufi sendiri, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan langsung
tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan. Ia bukan merupakan
hasil atau buah dari proses mental, tetapi sepenuhnya amat tergantung pada
kehendak dan karunia Tuhan, yang akan memberikannya sebagai karunia dari-Nya
yang mana Dia memang sudah menciptakan manusia dengan kapasitas untuk
menerimanya. Inilah sinar ilahi yang menyinari ke dalam diri manusia dan
melimpahi setiap bagian dari tubuh dengan berkas cahaya yang menyilaukan.
Berbeda dengan kedua episteologi sebelumnya,
sumber epistemologi Irfani adalah intuisi. Hal ini disebabkan karena dalam
dinamika sejarahnya, Irfani lebih dekat dengan perkumpulan tarekat. Padahal,
tarekat itu sendiri adalah institusi (organized expresion) dari tradisi
gnosis (tasawuf) dalam budaya islam. Sumber terpokok epistemologi Irfani adalah
pengalaman (experience).[9]
B. Model Berfikir
Bayani, Burhani dan Irfani
a. Model Berfikir Bayani
Ditinjau
dari perspektif sejarah, bayani sebetulnya sudah dimulai sejak pada masa awal
Islam. Hanya saja pada masa awal ini, yang disebut dengan bayani belum
merupakan sebuah upaya ilmiah dalam arti identifikasi keilmuan dan peletakan
aturan penafsiran teks-teksnya, tetapi baru sekedar upaya penyebaran tradisi
bayani saja. Hal ini sama halnya dengan istilah-istilah lain, seperti qiyas, yang sesungguhnya dalam aspek
praktek sudah berlangsung sejak masa awal Islam, tetapi sebagai sebuah teori
dan metodologi baru muncul kemudian. Formulasi qiyas secara mapan menjadi sebuah kerangka teori dan metodologi
yang kokoh terbangun pada masa keemasan umat Islam lewat tangan-tangan kreatif
ahli ushul fiqih.
Dalam
tradisi keilmuan Islam, corak bayani sangat dominan. Dengan segala
karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang sempurna. Salah satu
kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat
konstektual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola berfikir bayani, maka mau
tidak mau harus menghubungkan dengan pola berfikir irfani dan burhani. Jika masing-masing
tetap kokoh pada pendiriannya dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan saling
melengkapi satu sama lain, sulit rasanya studi Islam dan pengembangan ilmu-ilmu
keislaman mampu menjawab tantangan kontemporer yang terus berkembang tiada
henti.
Dalam
tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal
menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam konteks epistemologi bayani adalah
menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara bagaimana implementasi ajaran teks
tersebut dalam kehidupan konkret berada di luar kalkulasi epistemologi ini.
Sejak
dari awal, pola pikir bayani lebih mendahulukan qiyas dan bukan mantiq
lewat silogisme dan premis-premis logika. Epistemologi tekstual lughawiyyah (al-asl wa al-fa’; al-lafz wa al-ma’na) lebih diutamakan daripada
epistemologi konstektual-bahtsiyyah
maupun spiritualitas-‘irfaniyyah-batiniyyah.
Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran,
karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai muncul kesimpulan
bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu untuk di batasi sedemikian rupa dan
perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk
mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.
Dalam
pemikiran al-Jabiri, sistem epistemologi indikasi atau eksplikasi (bayani),
sevara historis, adalah sistem epistemologi paling awal dalam pemikiran Arab.
Sistem ini sangat dominan dalam ilmu-ilmu pokok, seperti filologi,
yurisprudensi(fiqih), ilmu al-Qur’an (interpretasi, hermeneutika, dan tafsir),
teologi dialektis (kalam), dan teori sastra non-filsafat. Sistem epistemologi
bayani ini menghasilkan suatu pakem kombinatif untuk menafsirkan wacana dan
menentukan sarat-sarat produksi wacana. Konsep dasar sistem ini menggabungkan
metode fiqih seperti yang dikembangkan oleh al-Syafi’i, dengan metode retorika
seperti yang dikembangkan oleh al-Jahiz.
Sistem
ini berpusat pada hubungan antara ungkapan dan makna, di samping syarat-syarat
yang telah ditambahkan oleh para fuqaha dan teolog seperti sarat
kepastian, analogi, inti laporan, dan tingkatan otentisitas atau
reliabilitasnya.
Hasil
akhirnya adalah sebuah teori pengetahuan yang dalam setiap levelnya bersifat
bayani. Dalam level logika internalnya, teori pengetahuan (epistemologi) ditentukan
oleh konsep bayani yang termasuk gaya bahasa puitik, ungkapan oral (enunciation), pemahaman, komunikasi, dan
penangkapan secara penuh. Hal yang sama juga terdapat dalam ranah materi
pengetahuan, yang terutama disusun dari al-Qur’an, hadits, tata bahasa, fiqih,
serta prosa atau puisi Arab. Begitu juga halnya dengan ranah ideologi, karena
kekuatanotoritatif yang menentukan, yaitu dogma Islam, ada di belakang ranah
ini. Oleh karena itu, sejak awal ada batasan atau larangan tertentu untuk
menyamakan pengetahuan dengan keimanan kepada Tuhan. Sistem ini juga diterapkan
dalam ranah epistemologi , dimana manusia dipahami sebagai makhluk yang
diberkati kapasitas bayan dengan dua tipe ”nalar”;pertama dalam bentuk bakat,
dan yang lain adalah hasil pembelajaran.
Tipe
pemikiran yang terbangun dari talenta merupakan
pemberian Tuhan. Sedangkan hasil pemikiran yang terbentuk dari pembelajaran
merupakan hasil tindak lanjut dan renungan yang sangat ditentukan oleh
otentisitas proses transmisi, mengingat perenungan membutuhkan pemikiram (thinking), bukan nalar (reason), atau pembuktian yang terdapat
di luar atau di balik batasan-batasan nalar. Fungsi nalar adalah untuk menelaah
realitas dunia sebagai manifestasi atau tanda apapun yang ada di dalamnya,
namun tidak dapat dipahami secara langsung. Ini sesuai dengan
ketentuan-ketentuan penalaran dengan menganalogikan yang tidak diketahui (qiyas al-ghoib ‘ala al-shahid).
Al-Jabiri
menjelaskan bahwa sistem bayani dibangun oleh dua prinsip dasar; pertama, prinsip diskontinuitas atau
keterpisahan (al-infisal), dan kedua, prinsip kontingensi atau
kemingkinan (al-tajwiz).
Perisip-perinsip tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu (al-jauhar al-fard) yang mempertahankan
bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi, dan apapun
yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang
kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan berinteaksi. Teori ini sesungguhnya
menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.
Sumber
sistem epistemologi semacam ini terdapat dalam gagasan-gagasan Badui (Arabi) yang disalahpahami satu-satunya
rujukan yang mempunyai otoritas tidak hanya kepada al-Qur’an, tetapi juga pola
pembacaannya dalam pandangan dunia masyarakat Arab pra-Islam yang nomaden. Bahasa
Arab menjadi satu-satunya perantara dan kerangka rujukan, karena bahasa Arab
adalah bahasa al-Qur’an. Konstruksi yang semacam itu terbentuk pada masa
kodifikasi dan telah dipergunakan sebagai prinsip legitimasi.[10]
b. Model Berfikir Burhani
Metode demonstratif adalah satu metode
rasional atau logis yang digunakan oleh para filosof selain empat macam non
demonstratif, yaitu dialektis yang berkenaan pernyataan-pernyataan dan dan
jawaban dialektika, sofistik yang membicarakan pemikiran analogis yang mengajarkan
lawan dari kebenaran, retorik yang berhubungan dengan jenis persuasi dan dampaknya dalam pidato, poetika
yang berkaitan dengan pemikiran antalogis yang mengajarkan penciptaan
perumpamaan dan kiasan. Namun, diantara metode-metode rasional tersebut, metode
demonstratif dapandang paling akurat karena itu, digunakan sebagai metode
ilmiah dasar yang aplikasinya meluas tidak hanya di bidang logika dan
filosofis, tetapi juga dibidang empiris dan matematika.[11]
Metode burhani, pada dasarnya, adalah
metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran
dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan
memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan dengan sebuah kesimpulan
ilmiah. Sebuah silogisme baru dikatakan demonstratif apabila premis-premisnya
didasarkan bukan pada opini, melainkan dengan kebenaran utama(primary truth),
karena apabila premis-premisnya benar , kesimpulannya tidak dipastikan benar.
Namun sebaliknya, kalau premis-premisnya tidak didasarkan pada kebenaran yang
teruji, kesimpulanya juga akan meragukan, bahkan bisa keliru. Contoh klasik
silogisme demonstratif adalah sebagai berikut :
Semua
manusia akan mati (fana). Wagiman adalah manusia, maka Wagiman
akan mati.
Pernyataan
“ semua manusia akan mati” disebut premis mayor, sedangkan “wagiman adalah
mausia” adalah premis minor. Kata” manusia” yang muncul dari premis tersebut
disebut minddle term. Kalau premis mayor dan minor benar tanpa
keragu-raguan, bisa dipastikan bahwa kesimpulan “wagiman akan mati” adalah
benar. Inilah contoh metode demonstratif yang ideal. Namun dalm praktiknya,
yidak semua kebenaran premis itu jelas dan karenanya perlu kriteria yang ketat
tentang kebenaran tersebut, seperti melalui verifikasi dan falsifikasi.
Menurut
Aristoteles, pengetahuan mengetahui sesuatu secara mutlak, tidak bersifat
aksidental denagn menemukan sebab-sebabnya (‘illah). Ia juga mengmukakan bahwa tiap-tiap kejadian
mempunyai empat penyebab yang semuanya harus disebut, jika hendak mengetahui
suatu kejadian. Syarat itu berlaku baik bagi kejadian alam maupun kejadian yang
disebabkan oleh manusia. Keempat
penyebab kejadian tersebut yaitu : pertama penyebab efisien (efficient cause/fail) ;inilah faktor
yang menjalankan kejadian. Kedua,
penyebab final final cause/ghayah); inilah tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Ketiga, penyebab material (material cause /madah); inilah bahan
dari mana benda dibuat. Keempat, penyebab
formal (formal cause/shurah);inilah
bentuk yang menyusun bahan. Dengan keempat penyebab diatas, Aristoteles ingin
menjelaskan secara lengkap semua faktor yang dapat menyebabkan suatu peristiwa.[12]
Ditinjau dari perspektif metodologi,
Burhani mrnggunakan logika (al-maqayis) sebagai metodologi. Logika,
dalam perspektif Muthahari, merupakan sejenis pekerjaan pikiran dan gerakan
pikiran yang bertolak dari maklum menuju majhul dan merubahnya
menjadi maklum. Setiap logika minimal harus terdiri dari dua premis,
yaitu premis mayor dan premis minor salah satunya menjadi pendukung serta
konklusi.
Sementara dalam pandangan filosof
al-Farabi, metode al-burhaniyah (demonstrasi) merupakan metodologi yang
super canggih dibandingkan dengan metodologi-metodologi lainnya, seperti
metodologi dialektika (jadaliyah), dan metodologi retorika (khatabbiyah).
Jika metode retorika dan dialekta dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum,
hal ini tidak berlaku bagi metode burhani. Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh
orang-orang tertentu.
Ditinjau dari aspek sumber (origin),
epistemologi burhani bersumber dari realitas (al-qaqi’), baik berupa
realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari
tradisi burhani disebut al-‘ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonsep,
disusun, dan disistematisasikan hanya melalui premis-premis logika (al-mantiq
al-‘ilmy).
Metode burhani ini biasa digunakan dan
dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif mengandalkan dedukasi
rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-premis dan
konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn
Rusyd.
Sebagai contoh dalam masalah ini dapat
dilihat dari analisis al-Farabi dan Ibn Sina tentang Tuhan dan dunia. Kerangka
dasar pemahaman keduanya berangkat dari pemahaman bahwa Tuhan adalah
satu-satunya dzat yang wujudnya tidak disebabkan dari yang lain. Sementara
semua yang ada di alam semesta ini muncul karena adanya sebab di lu dirinya. Epistemologi
burhani menempatkan akal dalam otoritas kebenaran.[13]
c. Model Berfikir Irfani
Irfani berakar dari bahasa Yunani
gnosis, yang berarti ma’rifah, al-‘ilm, dan al-hikmah
(filsafat). Di Eropa, pengetahuan Irfani ini dipandang sebagai suatu gerakan
agama (gnoticism) yang heretik, menyimpang, dan muncul dari dalam agama
Kristen. Bahkan menurut kajian modern, gnoticism tidak hanya merupakan gerakan
yang berhubungan dengan agama Kristen saja, melainkan juga sebagai fenomena
umum yang dikenal dalam tiga agama samawi, Islam, Kristen dan Yahudi. Lebih
dari itu, istilah ini dikenal pula dalam agama paganistik.
Melacak pada konteks maknanya,
maka harus dibedakan antara gnosis dan gnoticism. Gnosis adalah pengetahuan
tentang rahasia-rahasia ketuhanan yang hanya dimiliki oleh sekelompok orang
tertentu. Sedangkan gnoticism merupakan aliran yang mengklaim dirinya sebagai
gerakan keagamaan yang dibangun atas dasar suatu pengetahuan yang lebih tinggi
dari pengetahuan aqliah (rasional), pengetahuan yang bersifat esoterik,
yang tidak hanya berkaitan dengan perihal agama semata, melainkan juga dengan
segala sesuatu yang bersifat rahasia dan samar.
Epistemologi Irfani diharapkan
menjembatani sekaligus menghindari kekakuan (regiditas) dalam berfikir
keagamaan yang menggunakan teks sebagai sumber utamanya. Dengan peran dan
fungsinya, epistemologi Irfani dalam pemikiran islam menjadi mekanisme kontrol
perimbangan pemikiran dari dalam (internal control). Memang, perpaduan
antara “teks” dengan “akal” ternyata tidak selamanya berjalan baik dan sesuai
harapan. Dalam kondisi ini, perpaduan ini ternyata juga membawa dampak yang
kurang produktif, baik berupa ketegangan, konflik, dan bahkan dalam batas-batas
tertentu dalam bentuk kekerasan.
Berbeda dengan kedua epistemologi
sebelumnya, sumber epistemologi Irfani adalah intuisi. Dalam dinamika
sejarahnya, Irfani lebih dekat dengan perkumpulan tarekat. Padahal, tarekat itu
sendiri adalah institusi (organized expresion) dari tradisi gnosis
(tasawuf) dalam budaya islam. Sumber terpokok epistemologi Irfani adalah
pengalaman (experience).
Dalam kerangka membangun pola
pikir yang lebih toleran dan pluralis, maka yang penting untuk dipahami dan
dikembangkan adalah prinsip memahami keberadaan orang, kelompok, dan penganut
agama lain dengan cara menumbuhsuburkan sikap empati, simpati, social, skill,
dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip universal. Formula yang semacam ini
akan mengantarkan ke dalam pola hubungan antara subjek dan objek yang bersifat
intersubjektif. Oleh karena itu, kajian-kajian baru dan serius tentang kerangka
berfikir Irfani perlu terus menerus digali dan dikaji ulang agar dapat dipahami
secara praktis-fungsional.
Ditinjau dari sisi metode, Irfani
yang dikembangkan terutama oleh kalangan sufi ini menggunakan metode
pengetahuan iluminasi (kasyf). Kasyf adalah uraian tentang apa yang
tertutup bagi pemahaman yang tersingkap bagi seseorang, seakan ia melihat
dengan mata telanjang. Selain itu, kasyf juga diartikan sebagai penyingkapan atau
wahyu. Ia merupakan jenis pengalaman langsung yang lewat pengalaman tersebut,
pengetahuan tentang hakikat diungkapkan pada hati sang hamba dan pencipta.
Dalam rahmat-Nya yang tak terbatas, Allah memberikan kepada hamba dan
pencinta-Nya pengungkapan diri Ilahi yang tidak hanya menambah pengetahuannya
tentang Allah, melainkan menambah kerinduannya yang menggelora dan cintanya
kepada Allah. Oleh karena itu, kaum sufi agung disebut kaum “penyingkap dan
penemu” (ahl al-kasyf wa al-wujud). Dalam penyingkapan mereka menemukan
Allah.[14]
C.
Keunggulan
dan Kelemahan Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki
epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada (Bayani,
Burhani dan Irfani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir
Bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir Irfani (kasyf) yang sangat
sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan
rasio secara optimal. Namun dari ketiga epistemologi tersebut (Bayani, Burhani
dan Irfani) memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Keunggulan dan kelemahan masing-masing
epistemologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Keunggulan
dan kelemahan epistemologi bayani
Keunggulan bayani terletak pada kepada
kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang
bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi
teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran
atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam
aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih,
lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun,
hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani
adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik komunitas,
bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya
berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima
oleh golongan lain. Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio,
akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada.
Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan
stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan
akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah
bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan
melengkapi dengan teks.
b. Keunggulan
dan kelemahan epistemologi burhani
Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya
dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis merupakan keunggulan
epistemologi burhani. Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan
menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya
sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dipraktekkan oleh para
ilmuan Barat.
Namun Kendala yang sering dihadapi dalam
penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas.
Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks.
Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih
cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
c. Keunggulan
dan kelemahan epistemologi irfani
Di
antara keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari
intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari
pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal.
Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya
hanya menyentuh wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasinya, namun
manusia dapat berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif
dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri
dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh
dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
Namun
kendala atau keterbatasan irfani antara lain adalah bahwa ia hanya dapat
dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri
yang tinggi. Di samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia
berdasar pada pengalaman individu manusia.[15]
Kritik lainnya adalah sifatnya yang irasional, dan anti kritik terhadap
penalaran. Metode yang digunakan adalah logika paradoksal, segala-galanya bisa
dicipta tanpa melalui sebab-sebab yang mendahuluinya. Akibatnya, pemikiran para
sufi kehilangan dimensi kritis dan bersifat magis yang menyebabkan kemunduran
pola pikir umat islam.[16]
Setiap
epistemologi, termasuk di dalamnya Irfani, memiliki kelebihan dan kelemahan.
Tidak ada di antara ketiga epistemologi keilmuan islam tersebut yang sempurna.
Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu,
hal yang bijak bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing, tetapi
bagaimana masing-masing epistemologi tersebut menjalankan perannya yang tepat
dan saling melengkapi satu sama lain.
IV.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan tersebut dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
epistemologi adalah sebuah ilmu yang
mempelajari hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara
substantif. Epistemologi bayani adalah studi
filosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai
sebuah kebenaran mutlak. Metode burhani atau demonstratif merupakan
sebentuk inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menhasilkan
konklusi yang bernilai. Irfan dalam
bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan dengan al-‘ilm. Di
kalangan sufi, kata ‘Irfan dipergunakan untuk menunjukan jenis pengetahuan yang
tertinggi, yang dihadirkan ke dalam qalb dengan cara kasyf atau
ilham.
Dalam
tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal
menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam konteks epistemologi bayani adalah
menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara bagaimana implementasi ajaran teks
tersebut dalam kehidupan konkret berada di luar kalkulasi epistemologi ini. Metode
burhani, pada dasarnya, adalah metode logika atau penalaran rasional yang
digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau
teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan keabsahan dan akurasi
pengambilan dengan sebuah kesimpulan ilmiah. Dalam kerangka membangun pola pikir yang lebih toleran dan pluralis, maka
dalam epistemologi irfan yang penting untuk dipahami dan dikembangkan adalah
prinsip memahami keberadaan orang, kelompok, dan penganut agama lain dengan
cara menumbuhsuburkan sikap empati, simpati, social, skill, dan berpegang teguh
pada prinsip-prinsip universal.
ketiga
epistemologi tersebut (Bayani, Burhani dan Irfani) memiliki keunggulan dan
kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, hal yang bijak bukanlah menafikan
eksistensi peran masing-masing, tetapi bagaimana masing-masing epistemologi
tersebut menjalankan perannya yang tepat dan saling melengkapi satu sama lain.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan terkait
dengan materi epistemologi keilmuan islam. Semoga apa yang kami sampaikan dapat
bermanfaat untuk kita semua. Segala kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan
tempat kekurangan dan kesalahan hanyalah milik kami. Kritik dan saran yang
membangun kami harapkan demi penulisan makalah selanjutnya, Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Studi
Agama Normativitas dan Historitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Aziz,
Abd, Filsafat Pendidikan Islam,Yogyakarta: Teras, 2009
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1993
Muchtar, Aflatun, Arah
Baru Studi Islam di Indonesia Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2008
Naim,
Ngainun, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009
Aufklarung
dalam
http://Blog.Umy.Ac.Id/Aufklarung/2011/11/29/Epistimologi-Bayani-Burhani-Dan-Irfani/
29 Februari 2013
[1] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan
Historitas, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), Hlm. 243
[2] Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan
Islam, ( Yogyakarta: Teras, 2009), Hlm. 87-88
[3] Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan
Islam,hlm. 88-89
[4] Ngainun Naim, Pengantar Studi
Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), Hlm. 78
[5] Ngainun Naim, Pengantar Studi
Islam, Hlm. 82-83
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1993), hlm.189
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, hlm. 453
[8]
Aflatun Muchtar, Arah
Baru Studi Islam di Indonesia Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2008), Hlm. 241
[9] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam,
Hlm. 89
[10] Ngainun Naim, Pengantar Studi
Islam, Hlm. 78-82
[11] Aflatun Muchtar, Arah Baru
Studi Islam di Indonesia Teori dan Metodologi, Hlm. 241-242
[12] Aflatun Muchtar, Arah Baru Studi Islam di Indonesia Teori
dan Metodologi, Hlm. 242-243
[13] Ngainun Naim, Pengantar Studi
Islam, Hlm. 85-87
[14] Ngainun Naim, Pengantar Studi
Islam, Hlm. 89-93
[15]
Aufklarung
dalam http://Blog.Umy.Ac.Id/Aufklarung/2011/11/29/Epistimologi-Bayani-Burhani-Dan-Irfani/
29 Februari 2013
[16] Ngainun Naim, Pengantar Studi
Islam, Hlm. 95
0 comments:
Post a Comment